Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Jumat, 13 Juni 2014

Biografi Umar Bin Abdul-Aziz

Umar bin Abdul-Aziz (bahasa Arab: عمر بن عبد العزيز, bergelar Umar II, lahir pada tahun 63 H / 682 – Februari 720; umur 37–38 tahun) adalah khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 717 (umur 34–35 tahun) sampai 720 (selama 2–3 tahun). Tidak seperti khalifah Bani Umayyah sebelumnya, ia bukan merupakan keturunan dari khalifah sebelumnya, tetapi ditunjuk langsung, dimana ia merupakan sepupu dari khalifah sebelumnya, Sulaiman.

Keluarga

Ayahnya adalah Abdul-Aziz bin Marwan, gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul-Malik. Ibunya adalah Ummu Asim binti Asim. Umar adalah cicit dari Khulafaur Rasyidin kedua Umar bin Khattab, dimana umat Muslim menghormatinya sebagai salah seorang Sahabat Nabi yang paling dekat.

Silsilah

Umar dilahirkan sekitar tahun 682. Beberapa tradisi menyatakan ia dilahirkan di Madinah, sedangkan lainnya mengklaim ia lahir di Mesir. Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang periwayat hadis terbanyak.

Kisah Umar bin Khattab berkaitan dengan kelahiran Umar II

Menurut tradisi Muslim Sunni, silsilah keturunan Umar dengan Umar bin Khattab terkait dengan sebuah peristiwa terkenal yang terjadi pada masa kekuasaan Umar bin Khattab.
"Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin.

Kata ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari”
Anaknya menjawab “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini”
Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”.
Balas si anak “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.

Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu.
Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu.
Kata Umar, "Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.

Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.

Kehidupan awal
Tahun 682 – 715

Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang periwayat hadits terbanyak. Ia tinggal di sana sampai kematian ayahnya, dimana kemudian ia dipanggil ke Damaskus oleh Abdul-Malik dan menikah dengan anak perempuannya Fatimah. Setelah Ayah mertuanya meninggal ia diangkat pada tahun 706 sebagai gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid I.

Rabu, 11 Juni 2014

Biografi Al-Imam Malik Bin Anas

Dahulu kala tepatnya tahun 93 H di kota Madinah lahir seorang anak yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Imam Malik. Kunyah beliau Abu Abdillah, dan nama lengkap beliau Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Al Himyari Al Ashbahi Al Madani. Beliau diberi gelar Syaikhul Islam, Hujjatul Ummah, Mufti Al Haramain (Mufti dua tanah suci) dan Imam Daarul Hijrah.

Pada tahun yang sama wafat shahabat Nabi Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, pelayan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Ayah beliau, Anas adalah seorang ulama besar dari kalangan Tabi’in. Ibu beliau bernama ‘Aliyah bintu Syariik Al Adziyyah. Paman-paman beliau bernama Abu Suhail Nafi’, Uwais, Ar Rabi’, An Nadhar, semuanya putra Abu ‘Amr.

Imam Malik tumbuh dalam suasana yang penuh pengawasan dan perhatian kedua orang tuanya, serba berkecukupan, dan beliau memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Beliau berperawakan tinggi besar, berambut putih (beruban) dan berjenggot putih lebat. Beliau berwajah tampan dan kulit beliau putih bersih dengan mata jernih kebiru-biruan. Beliau suka sekali memakai baju putih dan beliau selali memakai pakaian yang bersih.

Pada usia belasan tahun Al Imam Malik mulai menuntut ilmu. Ketika berumur 21 tahun beliau mulai mengajar dan berfatwa. Beliau berguru pada ulama terkenal di antaranya Nafi’, Sa’id Al Maqburi, Amir bin Abdullah bin Zubair, Ibnu Al Mukandir, Az Zuhri, Abdullah bin Dinaar, dan sederet ulama-ulama besar lainnya.

Murid-murid Al Imam Malik banyak sekali. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Ishaq bin Abadullah bin Abu Thalhah, Ayyub bin Abu Tamimah As Sakhtiyani, Ayyub bin Habiib Al Juhani, Ibrahim bin ‘Uqbah, Isma’il bin Abi Hakim, Ismail Ibnu Muhammad bin Sa’ad, dan Al Imam Asy Syafi’i.

Sahabat-sahabat Al Imam Malik diantaranya adalah Ma’mar, Ibnu Juraij, Abu Hanifah, ‘Amr bin Al Harits, Al Auza’i, Syu’bah, Ats Tsauri, Juwairiyyah bin Asma’, Al Laits, Hammad bin Zaid.

Al Imam Malik mempunyai karya yang besar di bidang hadits, yaitu kitab Al Muwattha, karya beliau lainnya adalah Risalah fi Al Qadar, Risalah fi Al Aqdhiyyah, dan satu juz tentang tafsir. Di samping karya-karya beliau lainnya yang tidak disebutkan di sini.
Pujian-pujian yang datang dari para ulama kepada Al Imam Malik membuktikan tingginya reputasi beliau dalam bidang keilmuan, tidak kurang dari murid beliau, Al Imam Asy Syafi’i yang mengatakan, “Ilmu itu berputar-putar di sekitar tiga orang, Malik, Laits, dan Ibnu ‘Uyainah”.

Al Imam Ahmad bin Hanbal menuturkan bahwa Imam Malik ditinjau dari sisi ilmu lebih utama dari Al Auza’i, Ats Tsauri, Al Laits, Hammad, dan Al Hakam.

Al Qaththan berkata, “Beliau (Al Imam Malik) adalah imam yang patut dijadikan panutan”.

Al Imam Malik adalah seorang tokoh yang gigih menyebarkan dan mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pendapat-pendapat beliau tentang Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tercermin dari ucapan-ucapan beliau diantaranya:

1. Beliau berkata, “Iman itu ucapan dan perbuatan (maksudnya: iman itu keyakinan di dalam hati yang disertai dengan ucapan lisan dan perbuatan anggota badan), bisa bertambah dan berkurang dan sebagiannya lebih utama dari sebagian yang lain.”

Senin, 09 Juni 2014

Kisah Nabi Ayyub A.s

Nabi Ayyub A.s menggambarkan sosok manusia yang paling sabar, bahkan bisa dikatakan bahwa beliau berada di puncak kesabaran. Sering orang menisbatkan kesabaran kepada Nabi Ayyub A.s. Misalnya, dikatakan: seperti sabarnya Nabi Ayyub A.s. Jadi, Nabi Ayyub A.s menjadi simbol kesabaran dan cermin kesabaran atau teladan kesabaran pada setiap bahasa, pada setiap agama, dan pada setiap budaya. Allah Swt telah memujinya dalam kitab-Nya yang berbunyi:

“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaih-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS. Shad: 44)

Yang dimaksud al-Aubah ialah kembali kepada Allah Swt. Nabi Ayub adalah seseorang yang selalu kembali kepada Allah Swt dengan dzikir, syukur, dan sabar. Kesabarannya menyebabkan beliau memperoleh keselamatan dan rahasia pujian Allah Swt padanya.

Al-Qur’an al-Karim tidak menyebutkan bentuk dari penyakitnya, dan banyak cerita-cerita dongeng yang mengemukakan tentang penyakitnya. Dikatakan bahwa beliau terkena penyakit kulit yang dahsyat sehingga manusia-manusia enggan untuk mendekatinya. Dalam cuplikan kitab Taurat disebutkan berkenaan dengan Nabi Ayyub A.s: “Maka keluarlah setan dari haribaan Tuhan dan kemudian Ayyub A.s terkena suatu luka yang sangat mengerikan dari ujung kakinya sampai kepalanya.” Tentu kita menolak semua ini sebagai suatu hakikat yang nyata. Kami pun tidak mentolerir jika itu dianggap sebagai perbuatan seni semata. Perhatikanlah ungkapan dalam Taurat: “Kemudian setan keluar dari haribaan Tuhan kita,” sebagai orang-orang Muslim, kita mengetahui bahwa setan telah keluar dari haribaan Tuhan sejak Allah Swt menciptakan Adam A.s. Maka, kapan setan kembali keharibaan Tuhan? Kita berada di hadapan ungkapan seni, tetapi kita tidak berada di hadapan suatu hakikat.

Lalu, bagaimana hakikat sakitnya Nabi Ayyub A.s dan bagaimana kisahnya?

Yang populer tentang cobaan Nabi Ayyub A.s dan kesabarannya adalah riwayat berikut: para malaikat di bumi berbicara sesama mereka tentang manusia dan sejauh mana ibadah mereka. Salah seorang di antara mereka berkata: “Tidak ada di muka bumi ini seorang yang lebih baik daripada Nabi Ayyub A.s. Beliau adalah orang mukmin yang paling sukses, orang mukmin yang paling agung keimanannya, yang paling banyak beribadah kepada Allah Swt dan bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya dan selalu berdakwah di jalan-Nya.” Setan mendengarkan apa yang dikatakan lalu ia merasa terganggu dengan hal itu. Kemudian ia pergi menuju ke Nabi Ayyub A.s dalam rangka berusaha menggodanya tetapi Nabi Ayyub A.s adalah seorang Nabi dimana hatinya dipenuhi dengan ketulusan dan cinta kepada Allah Swt setan tidak mungkin mendapatkan jalan untuk mengganggunya.

Ketika setan berputus asa dari mengganggu Nabi Ayyub A.s, ia berkata kepada Allah Swt: “Ya Rabbi, hamba-Mu Ayub sedang menyembah-Mu dan menyucikan-Mu namun, ia menyembah-Mu bukan karena cinta, tapi ia menyembah-Mu karena kepentingan-kepentingan tertentu. Ia menyembah-Mu sebagai balasan kepada-Mu karena Engkau telah memberinya harta dan anak dan Engkau telah memberinya kekayaan dan kemuliaan. Sebenarnya ia ingin menjaga hartanya, kekayaannya, dan anak-anaknya. Seakan-akan berbagai nikmat yang Engkau karuniakan padanya adalah rahasia dalam ibadahnya. Ia takut kalau-kalau apa yang dimilikinya akan binasa dan hancur. Oleh karena itu, ibadahnya dipenuhi dengan hasrat dan rasa takut. Jadi, di dalamnya bercampur antara rasa takut dan tamak, dan bukan ibadah yang murni karena cinta.”

Riwayat tersebut mengatakan bahwa Allah Swt berkata kepada iblis: “Sesungguhnya Ayub adalah hamba yang mukmin dan sejati imannya. Nabi Ayyub A.s menjadi teladan dalam keimanan dan kesabaran. Aku membolehkanmu untuk mengujinya dalam hartanya. Lakukan apa saja yang engkau inginkan, kemudian lihatlah hasil dari apa yang engkau lakukan.”

Sabtu, 07 Juni 2014

Khalid Bin Walid, Si Pedang Allah

Pribadi yang mengaku tidak tahu dimana dan dari mana kehidupannya bermula, kecuali di suatu hari dimana ia berjabat tangan dengan Rasulullah saw, berikrar dan bersumpah setia…. saat itulah dia merasa dilahirkan kembali sebagai manusia “Dialah orang yang tidak pernah tidur dan tidak membiarkan orang lain tidur.”

Suatu saat Khalid bin Walid pernah menceritakan perjalanannya dari Mekah menuju Madinah kepada Rasulullah:

“Aku menginginkan seorang teman seperjalanan, lalu kujumpai Utsman bin Thalhah; kuceritakan kepadanya apa maksudku, ia pun segera menyetujuinya. Kami keluar dari kota Mekah sekitar dini hari, di luar kota kami berjumpa dengan Amr bin Ash.
Maka berangkatlah kami bertiga menuju kota Madinah, sehingga kami sampai di kota itu di awal hari bulan Safar tahun yang ke delapan Hijriyah. Setelah dekat dengan Rasulullah saw kami memberi salam kenabiannya, Nabi pun membalas salamku dengan muka yang cerah. Sejak itulah aku masuk Islam dan mengucapkan syahadat yang haq…”

Rasulullah bersabda, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa anda mempunyai akal sehat, dan aku berharap, akal sehat itu hanya akan menuntun anda kejalan yang baik…” Oleh karena itulah, aku berjanji setia dan bai’at kepada beliau, lalu aku Mohon “Mohon Rasulullah mintakan ampun untukku terhadap semua tindakan masa laluku yang menghalangi jalan Allah…”

Dalam perang Muktah, ada tiga orang Syuhada Pahlawan, mereka adalah Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah, mereka bertiga adalah Syuhada Pahlawan si Pedang Allah di Tanah Syria. Untuk keperluan perang Muktah ini, pasukan musuh, Pasukan Romawi mengerahkan sekitar 200.000 prajurit.

Dalam hal ini Rasulullah bersabda, “Panji perang di tangan Zaid bin Haritsah, ia bertempur bersama panjinya sampai ia tewas. Kemudian panji tersebut diambil alih oleh Ja’far, yang juga bertempur bersama panjinya sampai ia gugur sebagai syahid. Kemudian giliran Abdullah bin Rawahah memegang panji tersebut sambil bertempur maju, hingga ia juga gugur sebagai Syahid.”
“Kemudian panji itu diambil alih oleh suatu Pedang dari pedang Allah, lalu Allah membukakan kemenangan di tangannya.”

Sesudah Panglima yang ketiga gugur menemui syahidnya, dengan cepat Tsabit bin Arqam menuju bendera perang tersebut, lalu membawanya dengan tangan kanannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi di tengah-tengah pasukan Islam agar barisan mereka tidak kacau balau, dan semangat pasukan tetap tinggi…