Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Selasa, 11 Februari 2014

Kisah Dialog Seorang Raja Dan Malaikat Maut

Sahabat Yazid Arruqasyu meriwayatkan, pada masa Bani Israil ada seorang penguasa zalim. Dalam berkuasa, raja tersebut menindas rakyat dan tidak pernah berbuat kebajikan. Pada suatu hari raja tersebut duduk di singgasananya dan tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki masuk melalui pintu istana.

Orang asing itu bertampang keji, berbadan besar dan menakutkan. Raja sangat ketakutan dengan kehadirannya, dia khawatir laki-laki itu akan menyerangnya. Wajahnya pucat pasi dan bergetar, “Siapakah engkau ini? Siapa yang telah menyuruhmu masuk ke istanaku?” tanya raja ketakutan.

“Pemilik rumah ini yang menyuruhku ke sini. Ketahuilah bahwa tak ada dinding yang dapat menghalangiku, dan aku tidak memerlukan izin untuk masuk ke manapun,” kata laki-laki asing itu dengan suara agak kasar.
“Apakah engkau tidak takut dengan para sultan di kerajaanku ini?” tanya raja dengan gemetar.

“Aku tidak takut oleh kekuasaan para sultan. Dan ketahuilah, tidak ada seorang pun yang dapat lari dari jangkauanku,” kata laki-laki itu dengan bengisnya.

Malaikat Maut Datang

Setelah mendengar perkataan orang itu, wajah raja menjadi pusat pasi dan badannya menggigil, ia amat ketakutan dengan situasi ini. “Apakah engkau Malaikat Maut?” tanya raja menebak.
“Benar, akulah Malaikat Maut yang diutus untuk mencabut nyawamu,” kata malaikat maut tanpa tersenyum sedikit pun.
“Aku bersumpah demi Allah, berilah aku penangguhan satu hari saja agar dapat bertobat dari segala dosaku. Aku akan memohon keringanan dari Tuhanku. Aku akan menginfakkan harta benda yang aku miliki, hingga tak terbebani oleh azab akibat harta itu di akhirat kelak,” pinta raja.
“Bagaimana aku dapat menangguhkan, padahal umurmu sudah habis dan waktu sudah ditetapkan tertulis,” kata Malaikat Maut.
“Aku mohon tangguhkanlah sesaat saja,” rayu raja sekali lagi.
“Sesungguhnya jangka waktu itu telah diberikan, tetapi engkau lalai dan menyia-nyiakannya. Jatah nafasmu sudah habis, tidak tersisa satu nafaspun untukmu,” ujar Malaikat Maut yang mendekat seolah henadak mencabut nyawa raja.

Mati Belum Bertaubat

Raja semakin ketakutan dengan kata-kata Malaikat Maut itu. Namun ia tetap bersikeras ingin meminta penangguhan kematian. “Jika aku mati sekarang, siapa yang akan menyertaiku di alam kubur?” tanya raja zhalim itu.
“Tidak ada yang menyertaimu kecuali amalmu,” jawab Malaikat Maut.
“Aku tidak mempunyai amal kebaikan. Selama ini aku lalai kepada Allah Swt,” jelas raja zalim itu.
“Jika demikian, neraka dan murka Allah adalah tempat yang layak untukmu,” tegas Malaikat Maut.

Minggu, 09 Februari 2014

Kisah Batang Pohon Berjalan Mendekati Rasulullah SAW

Imam Ahmad bin Hambal r.a mengetengahkan sebuah hadis berasal dari Thalhah bin Nafi’ yang menuturkan sebagai berikut:

Pada suatu hari, Malaikat Jibril A.s datang kepada Rasulullah Saw, pada saat itu beliau sedang duduk bersedih hati. Bagian tubuhnya tampak berlumuran darah akibat serangan seorang dari kaum musyrikin mekkah.

Kepada beliau malaikat Jibril A.s bertanya, ”Ya Rasulullah, Anda kenapa?”
Beliau menjawab, bahwa baru saja seorang musyrik menyerang beliau.
Jibril A.s bertanya lagi, ”Maukah anda jika aku perlihatkan kepada anda suatu tanda yang membuktikan kenabian Anda?”
Beliau menjawab, ”Baiklah.” Pada saat Rasulullah Saw sedang memandang sebatang pohon di seberang lembah,
Jibril A.s berkata, ”Panggillah pohon itu!”
Seketika itu juga pohon yang di panggil berjalan hingga tiba di hadapan Rasulullah Saw.
Malaikat Jibril A.s lalu berkata lagi, ”Suruhlah dia kembali ke tempatnya.”
Beliau lalu menyuruh pohon itu kembali ke tempat semula. Kemudian pohon itu bergerak dan berjalan pulang ke tempatnya.

Saat itu Rasulullah Saw berkata kepada malaikat Jibril A.s, “Cukup, itu cukup bagiku.”

Jumat, 07 Februari 2014

Kisah Sa’id bin Amir bin Huzaim Al-Jumahy

Abu Nu’aim mengeluarkan dari Khalid bin Ma’dan, dia berkata, “Umar bin Al-Khaththab r.a mengangkat Sa’id bin Amir bin Huzaim r.a sebagai Amir kami di Himsh.

Ketika Umar bin Khattab r.a datang ke sana, dia bertanya, “Wahai penduduk Himsh, apa pendapat kalian tentang Sa’id bin Amir, amir kalian?”

Maka banyak orang yang mengadu kepada Umar bin Khattab r.a. Mereka berkata, “Kami mengadukan empat perkara. Yang pertama karena dia selalu keluar rumah untuk menemui kami setelah hari sudah siang.”

Umar bin Khattab r.a berkomentar, “Itu yang paling besar. Lalu apa lagi?”

Mereka menjawab, “Dia tidak mau menemui seseorang jika malam hari.”

“Itu urusan yang cukup besar,” komentar Umar bin Khattab r.a. Lalu dia bertanya, “Lalu apa lagi?”

Mereka menjawab, “Sehari dalam satu bulan dia tidak keluar dari rumahnya untuk menemui kami.”

“Itu urusan yang cukup besar,” komentar Umar bin Khattab r.a. Lalu dia bertanya, “Lain apa lagi?”

Mereka menjawab, “Beberapa hari ini dia seperti orang yang akan meninggal dunia.”

Kemudian Umar bin Al-Khaththab r.a mengkonfirmasi diantara Sa’id bin Amir r.a dan orang-orang yang mengadukan beberapa masalah tersebut. Saat itu Umar bin Khattab r.a berkata kepada dirinya sendiri, “Ya Allah, jangan sampai anggapanku tentang dirinya keliru pada hari ini.”

Lalu dia bertanya kepada orang-orang yang mengadu, “Sekarang sampaikan apa yang kalian keluhkan tentang diri Sa’id bin Amir r.a!’

“Dia selalu keluar rumah untuk menemui kami setelah hari sudah siang,” kata mereka. Sa’id menanggapi, “Demi Allah, sebenarnya aku tidak suka untuk mengungkapkan hal ini. Harap diketahui, keluargaku tidak mempunyai pembantu, sehingga aku sendiri yang harus menggiling adonan roti. Aku duduk sebentar hingga adonan itu menjadi lumat, lalu membuat roti, mengambil wudhu’, baru kemudian aku keluar rumah untuk menemui mereka.”

Umar bin Khattab r.a bertanya kepada mereka, “Apa keluhan kalian yang lain?”

Mereka menjawab, ‘Dia tidak mau menemui seorang pun pada malam hari.”

“Lalu apa alibimu?” tanya Umar bin Khattab r.a kepada Sa’id bin Amir r.a

“Sebenarnya aku tidak suka untuk mengungkapkan hal ini. Aku menjadikan siang hari bagi mereka, dan menjadikan malam hari bagi Allah.” jawab Sa’id

“Apa keluhan kalian yang lain?” tanya Umar bin Khattab r.a kepada mereka.

Mereka menjawab, “Sehari dalam satu bulan dia tidak mau keluar dari rumahnya untuk menemui kami.”

“Apa alibimu? tanya Umar bin Khattab r.a kepada Said r.a

“Aku tidak mempunyai seorang pembantu yang mencuci pakaianku, di samping itu, aku pun tidak mempunyai pakaian pengganti yang lain.” Maksudnya, hari itu dia mencuci pakaian satu-satunya.

“Apa keluhan kalian yang lain?” tanya Umar bin Khattab r.a kepada mereka.

Mereka menjawab, “Beberapa hari ini dia seperti orang yang akan meninggal dunia.”

Rabu, 05 Februari 2014

Kisah Abu Ubaidah Bin Jarrah r.a

Abu Ubaidah Amir bin Abdullah bin Al Jarrah bin Hilal bin Uhaib bin Dhabbah bin Al Harits bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah. termasuk orang yang pertama masuk Islam, beliau memeluk Islam selang sehari setelah Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq r.a memeluk Islam. Beliau masuk Islam bersama Abdurrahman bin Auf r.a, Utsman bin Mazun dan Arqam bin Abu al-Arqam, di tangan Abu Bakar as Shiddiq r.a. Sayyidina Abu Bakar r.a yang membawakan mereka menemui Rasulullah Saw untuk menyatakan syahadat di hadapan Baginda. Kualitasnya dapat kita ketahui melalui sabda Nabi Muhammad Saw: “Sesungguhnya setiap umat mempunyai orang kepercayaan, dan kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”

Abu Ubaidah Bin Jarrah r.a  lahir di Mekah, di sebuah rumah keluarga suku Quraisy terhormat. Nama lengkapnya adalah Amir bin Abdullah bin Jarrah yang dijuluki dengan nama Abu Ubaidah.

Abu Ubaidah bin Jarrah r.a adalah seorang yang berperawakan tinggi, kurus, berwibawa, bermuka ceria, rendah diri dan sangat pemalu. Beliau termasuk orang yang berani ketika dalam kesulitan, beliau disenangi oleh semua orang yang melihatnya, siapa yang mengikutinya akan merasa tenang. Wajahnya mudah sekali berkeringat, kedua gigi serinya tanggal, dan tipis rambut jenggotnya. Dia memiliki dua orang anak yang bernama Yazid dan Umair. Kedua anak itu merupakan buah hatinya dengan sang isteri yang bernama Hindun bin Jabir. Namun, keduanya telah meninggal dunia sehingga dia tidak lagi memiliki keturunan.

Kehidupan beliau tidak jauh berbeda dengan kebanyakan sahabat lainnya, diisi dengan pengorbanan dan perjuangan menegakkan Agama Islam. Hal itu tampak ketika beliau harus hijrah ke Ethiopia (Habasyi) pada gelombang kedua demi menyelamatkan aqidahnya. Namun kemudian beliau kembali lagi untuk menyertai perjuangan Rasulullah Saw.

Abu Ubaidah bin Jarrah r.a juga  ikut berperang bersama Rasulullah Saw, beliau sangat terkenal dengan kepahlawanan dan pengorbanan, saat perang Badar berkecamuk, Abu Ubaidah bin Jarrah r.a melihat bapaknya berada ditengah kaum musyrikin maka diapun menghindar darinya, namun bapaknya berusaha ingin membunuh anaknya. Maka tidak ada jalan lain untuk menghindar baginya kecuali melawannya, dan bertemulah dua pedang  yang saling berbenturan dan pada akhirnya orang tua yang musyrik mati ditangan anaknya yang lebih cinta kepada Allah Swt dan Rasul-Nya daripada orang tuanya hingga turunlah ayat,

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah Swt dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah Swt telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka kedalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah Swt ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah Swt. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah Swt itulah  yang beruntung.” (QS. Al-Mujadilah : 22).

Ketika dalam perang Uhud, pasukan muslimin kucar kacir dan banyak yang lari meninggalkan pertempuran, justru Abu Ubaidah bin Jarrah r.a berlari untuk mendapati Nabinya tanpa takut sedikit pun terhadap banyaknya lawan dan rintangan. Demi didapati pipi Nabi Muhammad Saw terluka, yaitu terhujamnya dua rantai besi penutup kepala beliau, segera ia berusaha untuk mencabut rantai tersebut dari pipi Nabi Muhammad Saw.

Abu Ubaidah bin Jarrah r.a mulai mencabut rantai tersebut dengan gigitan giginya. Rantai itu pun akhirnya terlepas dari pipi Rasulullah Saw. Namun bersamaan dengan itu pula gigi seri Abu Ubaidah bin Jarrah r.a ikut terlepas dari tempatnya. Abu Ubaidah bin Jarrah r.a tidak jera. Diulanginya sekali lagi untuk mengigit rantai besi satunya yang masih menancap dipipi Rasulullah Saw hingga terlepas. Dan kali ini pun harus juga diikuti dengan lepasnya gigi Abu Ubaidah bin Jarrah r.a, sehingga dua gigi seri sahabat ini ompong karenanya. Sungguh, satu keberanian dan pengorbanan yang tak tergambarkan.