Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Senin, 17 Maret 2014

Kisah Zubair bin Awwam r.a

Zubair bin Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdil Uzza bin Qushai bin Kilab. Ibunya bernama Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah Saw. Wanita ini telah menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama Islam. Beliau termasuk salah seorang dari 7 orang yang pertama masuk Islam.

Zubair bin Awwam r.a memeluk agama Islam ketika dia masih berusia 8 tahun dan melakukan hijrah ketika berusia 18 tahun. Berperawakan tinggi dan berkulit putih. Namun ada juga yang mengatakan bahwa perawakan Zubair tidak termasuk sangat tinggi dan juga tidak tergolong pendek dan bukan termasuk orang yang berbadan gemuk. Ada yang mengatakan bahwa warna kulitnya sawo matang, memiliki banyak bulu badan, dan kedua pipinya tidak penuh terisi daging. Ketika pamannya Naufal bin Khuwailid mengetahui perihal Zubair telah masuk Islam, beliau sangat marah dan berusaha menyiksanya, pernah beliau dimasukkan dalam karung tikar, kemudian dibakar, dan dia berkata kepadanya, “lepaskan dirimu dari Tuhan Muhammad, maka saya akan melepaskan dirimu dari api ini.”
Namun Az-Zubair menolaknya dan berkata kepadanya, “Tidak, demi Allah saya tidak akan kembali kepada kekufuran selamanya.”

Suatu hari beliau mendengar isu yang mengabarkan bahwa Nabi Muhammad Saw telah meninggal, maka dia keluar menuju jalan-jalan di Mekkah sambil menghunuskan pedangnya, dan memecah barisan manusia, lalu pergi mencari kepastian dari isu ini dan berjanji jika isu itu benar dia akan membunuh orang yang telah membunuh Rasulullah saw, akhirnya beliau bertemu dengan Rasulullah Saw di utara Mekah, maka saat itu Rasulullah Saw berkata kepadanya, “ada apakah engkau gerangan ?”
Dia berkata, “Saya mendengar kabar bahwa engkau telah terbunuh,”
Nabi Muhammad Saw berkata kepadanya, “Lalu apa yang akan engkau lakukan?”
Dia berkata, “Saya akan membunuh orang yang telah membunuhmu.”
Setelah mendengar hal tersebut beliau pun bergembira dan mendo’akannya dengan kebaikan dan pedangnya dengan kemenangan. (Abu Nu’aim), beliau juga merupakan orang yang pertama menghunuskan pedangnya di jalan Allah Swt.

Zubair bin Awwam pernah ikut berhijrah ke Habsyah bersama orang-orang hijrah dari kaum muslimin, dan beliau tetap tinggal disana hingga Rasulullah Saw mengijinkannya untuk kembali ke Madinah. Beliau selalu mengikuti peperangan bersama Rasulullah Saw, setelah perang Uhud dan orang-orang Quraisy kembali ke Mekah, Rasulullah Saw mengirim 70 orang sahabat untuk mendampingi dirinya, termasuk di dalamnya Abu Bakar As Siddiq dan Zubair bin Awwam. (Al-Bukhari). Pada perang Yarmuk, Zubair bertarung dengan pasukan Romawi, namun pada saat tentara muslim bercerai berai, beliau berteriak : “Allahu Akbar” kemudian beliau menerobos ke tengah pasukan musuh sambil mengibaskan pedangnya ke kiri dan ke kanan, anaknya Urwah pernah berkata tentangnya, “Zubair memiliki tiga kali pukulan dengan pedangnya, saya pernah memasukkan jari saya didalamnya, dua diantaranya saat perang badar, dan satunya lagi saat perang Yarmuk.

Salah seorang sahabatnya pernah bercerita, “Saya pernah bersama Zubair bin Awwam dalam hidupnya dan saya melihat dalam tubuhnya ada sesuatu, saya berkata kepadanya, ”demi Allah saya tidak pernah melihat badan seorang pun seperti tubuhmu,”
Dia berkata kepada saya, “Demi Allah tidak ada luka dalam tubuh ini kecuali ikut berperang bersama Rasulullah Saw dan dijalan Allah Swt.”
Dan diceritakan tentangnya, ”Sesungguhnya tidak ada gubernur/pemimpin, penjaga dan keluar sesuatu apapun kecuali dalam mengikuti perang bersama Nabi Muhammad Saw, atau Abu Bakar As Siddiq r.a, Umar bin Khattab r.a, atau Utsman bin Affan r.a.”

Saat terjadi pengepungan atas Bani Quraidzah dan mereka tidak mau menyerah, Rasulullah saw mengutus beliau bersama Ali bin Abu Thalib r.a, lalu keduanya berdiri di depan benteng dan mengulangi kata-katanya, “Demi Allah kalian akan merasakan seperti yang telah dirasakan oleh Hamzah, atau kami akan menaklukkan benteng ini.”

Sabtu, 15 Maret 2014

Sa’ad bin Abi Waqqash r.a, Lelaki Penghuni Surga Di antara Dua Pilihan

Lelaki penghuni surga diantara dua pilihan, iman dan kasih sayang. Malam telah larut, ketika seorang pemuda bernama Sa’ad bin Abi Waqqash terbangun dari tidurnya. Baru saja ia bermimpi yang sangat mencemaskan. Ia merasa terbenam dalam kegelapan, kerongkongannya terasa sesak, nafasnya terengah-engah, keringatnya bercucuran, keadaan sekelilingnya gelap-gulita. Dalam keadaan yang demikian dahsyat itu, tiba-tiba dia melihat seberkas cahaya dari langit yang terang-benderang. Maka dalam sekejap, berubahlah dunia yang gelap-gulita menjadi terang benderang dengan cahaya tadi. Cahaya itu menyinari seluruh rumah penjuru bumi. Bersamaan dengan sinar yang cemerlang itu, Sa’ad bin Abi Waqqash melihat tiga orang lelaki, yang setelah diamati tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib r.a, Abu Bakar bin Abi Quhafah dan Zaid bin Haritsah.

Sejak ia bermimpi yang demikian itu, mata Sa’ad bin Abi Waqqash tidak mau terpejam lagi. Kini Sa’ad bin Abi Waqqash duduk merenung untuk memikirkan arti mimpi yang baginya sangat aneh. Sampai sinar matahari mulai meninggi, rahasia mimpi yang aneh tersebut masih belum terjawab. Hatinya kini bertanya-tanya, berita apakah gerangan yang hendak saya peroleh. Seperti biasa, di waktu pagi, Sa’ad dan ibunya selalu makan bersama-sama. Dalam menghadapi hidangan pagi ini, Sa’ad lebih banyak berdiam diri. Sa’ad adalah seorang pemuda yang sangat patuh dan taat kepada ibunya. Namun, mimpi semalam dirahasiakannya, tidak diceritakan kepada ibu yang sangat dicintai dan dihormatinya. Sedemikian dalam sayangnya Sa’ad pada ibunya, sehingga seolah-olah cinta Sa’ad hanya untuk ibunya yang telah memelihara dirinya sejak kecil hingga dewasa dengan penuh kelembutan dan berbagai pengorbanan.

Pekerjaan Sa’ad adalah membuat tombak dan lembing yang diruncingkan untuk dijual kepada pemuda-pemuda Makkah yang senang berburu, meskipun ibunya terkadang melarangnya melakukan usaha ini. Ibu Sa’ad yang bernama Hamnah binti Suyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun. Disamping itu, Hamnah juga seorang wanita yang terkenal cerdik dan memiliki pandangan yang jauh. Hamnah sangat setia kepada agama nenek moyangnya, yaitu penyembah berhala.

Pada suatu hari tabir mimpi Sa’ad mulai terbuka, ketika Abu Bakar As Siddiq mendatangi Sa’ad di tempat pekerjaannya dengan membawa berita dari langit tentang diutusnya Muhammad Saw, sebagai Rasul Allah Swt. Ketika Sa’ad bertanya, siapakah orang-orang yang telah beriman kepada Muhammad Saw, dijawab oleh Abu Bakar As Siddiq r.a, dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib r.a, dan Zaid bin Haritsah r.a.

Muhammad Saw, mengajak manusia menyembah Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi. Seruan ini telah mengetuk pintu hati Sa’ad untuk menemui Rasulullah Saw, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Kalbu Sa’ad telah disinari cahaya iman, meskipun usianya waktu itu baru menginjak tujuh belas tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan lelaki pertama yang memeluk Islam selain Ali bin Abi Thalib r.a, Abu Bakar As Siddiq r.a, dan Zaid bin Haritsah r.a. Cahaya agama Allah Swt yang memancar ke dalam kalbu Sa’ad, sudah demikian kuat, meskipun ia mengalami ujian yang tidak ringan dalam memeluk agama Allah Swt ini.

Diantara ujian yang dirasa paling berat adalah, karena ibunya yang paling dikasihi dan disayanginya itu tidak rela ketika mengetahui Sa’ad memeluk Islam. Sejak memeluk Islam, Sa’ad telah melaksanakan shalat dengan sembunyi-sembunyi di kamarnya. Sampai pada suatu saat, ketika ia sedang bersujud kepada Allah Swt, secara tidak sengaja, ibu yang belum mendapat hidayah dari Allah Swt ini melihatnya. Dengan nada sedikit marah, Hamnah bertanya : “Sa’ad, apakah yang sedang kau lakukan ?” Rupanya Sa’ad sedang berdialog dengan Tuhannya; ia tampak tenang dan khusyu’ sekali. Setelah selesai menunaikan Shalat, ia berbalik menghadap ibunya seraya berkata lembut. “Ibuku sayang, anakmu tadi bersujud kepada Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.”

Kamis, 13 Maret 2014

Puteri-Puteri Khadijah r.ha Dengan Rasulullah SAW

Zainab binti Rasulullah SAW.


Zainab r.ha adalah puteri tertua Rasulullah Saw. Rasulullah Saw telah menikahkannya dengan sepupu beliau, yaitu Abul ‘Ash bin Rabi’ sebelum beliau diangkat menjadi Nabi, atau ketika Islam belum tersebar di tengah-tengah mereka.

lbu Abul ‘Ash adalah Halah binti Khuwaylid, bibi Zainab dari pihak ibu. Dari pernikahannya dengan Abul ‘Ash mereka mempunyai dua orang anak: Ali dan Umamah.

Ali meninggal ketika masih kanak-kanak dan Umamah tumbuh dewasa dan kemudian menikah dengan Ali bin Abi Thalib r.a. setelah wafatnya Fatimah r.ha.

Setelah berumah tangga, Zainab r.ha tinggal bersama Abul ‘Ash bin Rabi’ suaminya. Hingga pada suatu ketika, pada saat suaminya pergi bekerja, Zainab r.ha mengunjungi ibunya. Dan ia dapatkan keluarganya telah mendapatkan suatu karunia dengan diangkatnya, ayahnya, Muhammad Saw menjadi Nabi akhir jaman. Zainab r.ha mendengarkan keterangan tentang Islam dari ibunya, Khadijah r.ha. Keterangan ini membuat hatinya lembut dan menerima hidayah Islam. Dan keislamannya ini ia pegang dengan teguh, walaupun ia belum menerangkan keislamannya kepada suaminya, Abul ‘Ash.

Sedangkan Abul ‘Ash bin Rabi’ adalah termasuk orang-orang musyrik yang menyembah berhala. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai peniaga. Ia sering meninggalkan Zainab r.ha untuk keperluan dagangnya. la sudah mendengar tentang pengakuan Muhammad sebagai Nabi Saw.. Namun, ia tidak mengetahui bahwa isterinya, Zainab r.ha sudah memeluk Islam. Pada tahun ke-6 setelah hijrah Nabi Muhammad Saw ke Madinah.

Abul ‘Ash bin Rabi’ pergi ke Syria beserta kafilah-kafilah Quraisy untuk berdagang. Ketika Rasulullah Saw. mendengar bahwa ada kafilah Quraisy yang sedang kembali dari Syria, beliau Saw mengirim Zaid bin Haritsah r.a. bersama 313 pasukan muslimin untuk menyerang kafilah Quraisy ini. Mereka menghadang kafilah ini di dekat Al-is di Badar pada bulan jumadil Awal. Mereka menangkap kafilah itu dan barang-barang yang dibawanya serta menahan beberapa orang dari kafilah itu, termasuk Abul ‘Ash bin Rabi’. Ketika penduduk Mekkah datang untuk menebus para tawanan, maka saudara laki-laki Abul ‘Ash, yaitu Amar bin Rabi’, telah datang untuk menebus dirinya. Ketika itu, Zainab r.ha isteri Abul ‘Ash masih tinggal di Mekkah. la pun telah mendengar berita serangan kaum muslimin atas kafilah-kafilah Quraisy termasuk berita tertawannya Abul ‘Ash.

Berita ini sangat menyedihkan hatinya. Lalu ia mengirimkan kalungnya yang terbuat dari batu onyx Zafar hadiah dari ibunya, Khadijah binti Khuwaylid r.ha.

Zafar adalah sebuah gunung di Yaman. Khadijah binti Khuwaylid r.ha telah memberikan kalung itu kepada Zainab r.ha ketika ia akan menikah dengan Abul ‘Ash bin Rabi’. Dan kali ini, Zainab r.ha mengirimkan kalung itu sebagai tebusan atas suaminya, Abul ‘Ash. Kalung itu sampai di tangan Rasulullah Saw. Ketika beliau Saw. melihat kalung itu, beliau segera mengenalinya. Dan kalung itu mengingatkan beliau kepada isterinya yang sangat ia sayangi, Khadijah binti Khuwaylid r.ha.

Rasulullah Saw berkata, “Seorang Mukmin adalah penolong bagi orang Mukmin lainnya. Setidaknya mereka memberikan perlindungan. Kita lindungi orang yang dilindungi oleh Zainab. jika kalian bisa mencari jalan untuk membebaskan Abul ‘Ash kepada Zainab dan mengembalikan kalungnya itu kepadanya, maka lakukanlah.”
Mereka menjawab, “Baik, yaa Rasulullah Saw”
Maka mereka segera membebaskan Abul ‘Ash dan mengembalikan kalung itu kepada Zainab r.ha.

Selasa, 11 Maret 2014

Muslimah Pertama Penjaga Al-Qur’an

Setelah Khunias bin Hadzafah Al-sahmi mati syahid dalam perang Uhud melawan pasukan Quraisy, sang isteri yaitu Hafshah binti Umar dirundung kesedihan mendalam. Namun itu tidak berlangsung lama, setelah Rasulullah Saw meminangnya sebagai isteri.

Di antara isteri-isteri nabi yang lain, Hafshah memiliki kelebihan dalam mengingat dan menulis. Untuk ukuran masyarakat Mekkah waktu itu, kemampuan dan gaya tulisan Hafshah jauh lebih bagus. Maka tidak heran jika Rasulullah Saw juga memberikan perhatian besar kepada Hafshah.

Dalam buku bilik-bilik cinta Muhammad tulisan Nizar Abashah dikatakan, karena perhatian besar itulah, Nabi Muhammad Saw mendorong Hafshah untuk memperdalam ilmu menulisnya. Pada perkembangan berikutnya, peran Hafshah sangat penting selama periode pertama penulisan wahyu Al-Qur’an.

Selain menjadi isteri yang sholehah, Hafshah juga menggunakan kemampuan menulis dan ketajaman ingatan untuk mengumpulkan penggalan wahyu Al-Qur’an. Perbuatan Hafshah tersebut tidak mendapat penolakan dari nabi, mengingat Hafshah merupakan Muslimah yang memiliki kejernihan hati dan taat menjalankan shalat serta puasa.

Selama Muhammad menjadi rasul, Hafshah berhasil mengumpulkan penggalan-penggalan ayat Alquran yang ditulisnya pada lembaran dahan pohon kurma, papan, tulang, dan kulit hewan. Dialah wanita pertama dan satu-satunya penghafal dan penulis Al-Qur’an langsung di bawah pengawasan Rasulullah Saw.

Setiap Nabi Muhammad Saw menerima wahyu, Hafshah dengan teliti dan cekatan menghafal kemudian menulisnya. Penggalan wahyu dan hafalannya terus dijaga Hafshah sampai pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-shiddiq r.a.

Tidak lama setelah Nabi Muhammad Saw meninggal dunia, umat Islam dipecah dengan munculnya nabi palsu yang mengaku utusan Allah Swt untuk meneruskan perjuangan Muhammad Saw sebagai nabi. Untuk memerangi nabi palsu tersebut, beberapa sahabat menggelar pertemuan yang bertujuan mengangkat seorang khalifah. Akhirnya Abu Bakar Ash-shiddiq r.a didaulat menjadi khalifah pertama.

Selama menjadi khalifah, kemunculan nabi palsu berhasil di antisipasi. Selain itu, pada pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a, untuk pertama kalinya penggalan wahyu yang disimpan Hafshah ditulis ulang menjadi satu mushaf utuh. Pada waktu itu, penulisan Al-Qur’an disusun berdasarkan waktu turunnya kepada Nabi Muhammad Saw.

Setelah Al-Qur’an tersusun rapi menjadi satu mushaf, Abu Bakar r.a memberikan kepercayaan kepada Hahshah untuk menyimpan dan memelihara Al-Qur’an di rumahnya. Mendapat kewajiban penting itu, Hafshah mempertaruhkan keselamatan dan pengabdiannya untuk menjaga Al-Qur’an sampai dia meninggal dunia. Karena perbuatan mulia ini, kemudian umat Islam menjulukinya sebagai si penjaga Al-Qur’an.