Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Kamis, 13 Maret 2014

Puteri-Puteri Khadijah r.ha Dengan Rasulullah SAW

Zainab binti Rasulullah SAW.


Zainab r.ha adalah puteri tertua Rasulullah Saw. Rasulullah Saw telah menikahkannya dengan sepupu beliau, yaitu Abul ‘Ash bin Rabi’ sebelum beliau diangkat menjadi Nabi, atau ketika Islam belum tersebar di tengah-tengah mereka.

lbu Abul ‘Ash adalah Halah binti Khuwaylid, bibi Zainab dari pihak ibu. Dari pernikahannya dengan Abul ‘Ash mereka mempunyai dua orang anak: Ali dan Umamah.

Ali meninggal ketika masih kanak-kanak dan Umamah tumbuh dewasa dan kemudian menikah dengan Ali bin Abi Thalib r.a. setelah wafatnya Fatimah r.ha.

Setelah berumah tangga, Zainab r.ha tinggal bersama Abul ‘Ash bin Rabi’ suaminya. Hingga pada suatu ketika, pada saat suaminya pergi bekerja, Zainab r.ha mengunjungi ibunya. Dan ia dapatkan keluarganya telah mendapatkan suatu karunia dengan diangkatnya, ayahnya, Muhammad Saw menjadi Nabi akhir jaman. Zainab r.ha mendengarkan keterangan tentang Islam dari ibunya, Khadijah r.ha. Keterangan ini membuat hatinya lembut dan menerima hidayah Islam. Dan keislamannya ini ia pegang dengan teguh, walaupun ia belum menerangkan keislamannya kepada suaminya, Abul ‘Ash.

Sedangkan Abul ‘Ash bin Rabi’ adalah termasuk orang-orang musyrik yang menyembah berhala. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai peniaga. Ia sering meninggalkan Zainab r.ha untuk keperluan dagangnya. la sudah mendengar tentang pengakuan Muhammad sebagai Nabi Saw.. Namun, ia tidak mengetahui bahwa isterinya, Zainab r.ha sudah memeluk Islam. Pada tahun ke-6 setelah hijrah Nabi Muhammad Saw ke Madinah.

Abul ‘Ash bin Rabi’ pergi ke Syria beserta kafilah-kafilah Quraisy untuk berdagang. Ketika Rasulullah Saw. mendengar bahwa ada kafilah Quraisy yang sedang kembali dari Syria, beliau Saw mengirim Zaid bin Haritsah r.a. bersama 313 pasukan muslimin untuk menyerang kafilah Quraisy ini. Mereka menghadang kafilah ini di dekat Al-is di Badar pada bulan jumadil Awal. Mereka menangkap kafilah itu dan barang-barang yang dibawanya serta menahan beberapa orang dari kafilah itu, termasuk Abul ‘Ash bin Rabi’. Ketika penduduk Mekkah datang untuk menebus para tawanan, maka saudara laki-laki Abul ‘Ash, yaitu Amar bin Rabi’, telah datang untuk menebus dirinya. Ketika itu, Zainab r.ha isteri Abul ‘Ash masih tinggal di Mekkah. la pun telah mendengar berita serangan kaum muslimin atas kafilah-kafilah Quraisy termasuk berita tertawannya Abul ‘Ash.

Berita ini sangat menyedihkan hatinya. Lalu ia mengirimkan kalungnya yang terbuat dari batu onyx Zafar hadiah dari ibunya, Khadijah binti Khuwaylid r.ha.

Zafar adalah sebuah gunung di Yaman. Khadijah binti Khuwaylid r.ha telah memberikan kalung itu kepada Zainab r.ha ketika ia akan menikah dengan Abul ‘Ash bin Rabi’. Dan kali ini, Zainab r.ha mengirimkan kalung itu sebagai tebusan atas suaminya, Abul ‘Ash. Kalung itu sampai di tangan Rasulullah Saw. Ketika beliau Saw. melihat kalung itu, beliau segera mengenalinya. Dan kalung itu mengingatkan beliau kepada isterinya yang sangat ia sayangi, Khadijah binti Khuwaylid r.ha.

Rasulullah Saw berkata, “Seorang Mukmin adalah penolong bagi orang Mukmin lainnya. Setidaknya mereka memberikan perlindungan. Kita lindungi orang yang dilindungi oleh Zainab. jika kalian bisa mencari jalan untuk membebaskan Abul ‘Ash kepada Zainab dan mengembalikan kalungnya itu kepadanya, maka lakukanlah.”
Mereka menjawab, “Baik, yaa Rasulullah Saw”
Maka mereka segera membebaskan Abul ‘Ash dan mengembalikan kalung itu kepada Zainab r.ha.

Selasa, 11 Maret 2014

Muslimah Pertama Penjaga Al-Qur’an

Setelah Khunias bin Hadzafah Al-sahmi mati syahid dalam perang Uhud melawan pasukan Quraisy, sang isteri yaitu Hafshah binti Umar dirundung kesedihan mendalam. Namun itu tidak berlangsung lama, setelah Rasulullah Saw meminangnya sebagai isteri.

Di antara isteri-isteri nabi yang lain, Hafshah memiliki kelebihan dalam mengingat dan menulis. Untuk ukuran masyarakat Mekkah waktu itu, kemampuan dan gaya tulisan Hafshah jauh lebih bagus. Maka tidak heran jika Rasulullah Saw juga memberikan perhatian besar kepada Hafshah.

Dalam buku bilik-bilik cinta Muhammad tulisan Nizar Abashah dikatakan, karena perhatian besar itulah, Nabi Muhammad Saw mendorong Hafshah untuk memperdalam ilmu menulisnya. Pada perkembangan berikutnya, peran Hafshah sangat penting selama periode pertama penulisan wahyu Al-Qur’an.

Selain menjadi isteri yang sholehah, Hafshah juga menggunakan kemampuan menulis dan ketajaman ingatan untuk mengumpulkan penggalan wahyu Al-Qur’an. Perbuatan Hafshah tersebut tidak mendapat penolakan dari nabi, mengingat Hafshah merupakan Muslimah yang memiliki kejernihan hati dan taat menjalankan shalat serta puasa.

Selama Muhammad menjadi rasul, Hafshah berhasil mengumpulkan penggalan-penggalan ayat Alquran yang ditulisnya pada lembaran dahan pohon kurma, papan, tulang, dan kulit hewan. Dialah wanita pertama dan satu-satunya penghafal dan penulis Al-Qur’an langsung di bawah pengawasan Rasulullah Saw.

Setiap Nabi Muhammad Saw menerima wahyu, Hafshah dengan teliti dan cekatan menghafal kemudian menulisnya. Penggalan wahyu dan hafalannya terus dijaga Hafshah sampai pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-shiddiq r.a.

Tidak lama setelah Nabi Muhammad Saw meninggal dunia, umat Islam dipecah dengan munculnya nabi palsu yang mengaku utusan Allah Swt untuk meneruskan perjuangan Muhammad Saw sebagai nabi. Untuk memerangi nabi palsu tersebut, beberapa sahabat menggelar pertemuan yang bertujuan mengangkat seorang khalifah. Akhirnya Abu Bakar Ash-shiddiq r.a didaulat menjadi khalifah pertama.

Selama menjadi khalifah, kemunculan nabi palsu berhasil di antisipasi. Selain itu, pada pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a, untuk pertama kalinya penggalan wahyu yang disimpan Hafshah ditulis ulang menjadi satu mushaf utuh. Pada waktu itu, penulisan Al-Qur’an disusun berdasarkan waktu turunnya kepada Nabi Muhammad Saw.

Setelah Al-Qur’an tersusun rapi menjadi satu mushaf, Abu Bakar r.a memberikan kepercayaan kepada Hahshah untuk menyimpan dan memelihara Al-Qur’an di rumahnya. Mendapat kewajiban penting itu, Hafshah mempertaruhkan keselamatan dan pengabdiannya untuk menjaga Al-Qur’an sampai dia meninggal dunia. Karena perbuatan mulia ini, kemudian umat Islam menjulukinya sebagai si penjaga Al-Qur’an.

Minggu, 09 Maret 2014

Kisah Zaid bin Haritsah r.a

“Setiap Rasulullah Saw mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat Nabi jadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul, tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah!” (Aisyah, r.ha).

Tampang dan perawakannya biasa saja, pendek dengan kulit coklat kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek. Demikian yang dilukiskan oleh ahli sejarah dan riwayat.

Masalahnya bukan fisik. Yang membuat sejarah hidupnya hebat dan besar adalah perjalanan panjang sejarahnya bersama Rasulullah Saw. Zaid yang berasal dari suku yang jauh dari Mekah, sampai ke Mekah dengan status budak. Tetapi begitulah Allah Yang Maha Mempunyai rencana agar Zaid bisa bertemu dengan Rasul-Nya. Dan inilah kisah selengkapnya.

Sudah lama sekali  isteri Haritsah berniat hendak berziarah ke kaum keluarganya di kampung Bani Ma’an. Ia sudah gelisah dan seakan-akan tak sabar lagi menunggu waktu keberangkatannya. Pada suatu pagi yang cerah, suaminya ialah ayah Zaid, mempersiapkan kendaraan dan perbekalan untuk keperluan itu. Kelihatan isterinya sedang menggendong anak mereka yang masih kecil, Zaid.

Di waktu ia akan menitipkan isteri  dan  anaknya  kepada  rombongan  kafilah  yang  akan berangkat bersama dengan isterinya, dan ia harus menunaikan tugas pekerjaannya, menyelinaplah rasa sedih di hatinya, perasaan aneh menyeluruh di hatinya, menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan isterinya. Akhirnya perasaan gundah itu hilang jua. Dan kafilah pun mulai bergerak memulai perjalanannya meninggalkan kampung itu, dan tibalah waktunya bagi Haritsah untuk mengucapkan selamat jalan bagi putera dan isterinya ….

Demikianiah, ia melepas isteri dan anaknya dengan air mata berlinang. Lama ia diam terpaku di tempat berdirinya sampai keduanya lenyap dari pandangan. Haritsah merasakan hatinya tergoncang, seolah-olah tidak berada di tempatnya yang biasa. Ia hanyut dibawa perasaan seolah-olah ikut berangkat bersama rombongan kafilah.

Setelah beberapa lama Su’da, isteri Haritsah berdiam bersama kaum keluarganya di kampung Bani Ma’an. Hingga pada suatu hari, desa itu dikejutkan oleh serangan gerombolan perampok badui yang menggerayangi desa tersebut. Kampung dibuat porak poranda. Karena tak dapat mempertahankan diri, semua milik yang berharga dikuras habis dan penduduk yang tertawan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah. Dengan perasaan duka kembalilah ibu Zaid kepada suaminya seorang diri.

Demi Haritsah mengetahui kejadian tersebut, ia pun jatuh tak sadarkan diri. Dengan tongkat di pundaknya ia berjalan mencari anaknya. Kampung demi kampung diselidikinya, padang pasir dijelajahinya. Dia bertanya pada kabilah yang lewat, kalau-kalau ada yang tahu tentang anaknya tersayang dan buah hatinya  “Zaid.”

Tetapi usaha itu tidak berhasil. Maka bersyairlah ia menghibur diri sambil menuntun untanya, yang diucapkannya dari lubuk perasaan yang haru: “Kutangisi Zaid, ku tak tahu apa yang telah terjadi, Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati Demi AIlah ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya. Apakah di lembah ia celaka atau di bukit ia binasa. Di kala matahari terbit ku terkenang padanya. BiIa surya terbenam ingatan kembali menjelma. Tiupan angin yang membangkitlkan kerinduan pula, Wahai, alangkah lamanya duka nestapa diriku jadi merana.”

Perbudakan kala itu adalah sesuatu yang lumrah menurut kondisi masyarakat pada zaman itu. Dan itu tidak hanya terjadi di Jazirah Arab saja tapi bahkan hampir mendunia. Terjadi di Athena Yunani, begitu di kota Roma, dan begitu pula di seantero dunia, dan tidak terkecuali di jazirah Arab sendiri.

Jumat, 07 Maret 2014

Kun-Yah (Sunnah Yang Terlupakan)

Sebagian orang akan mengernyitkan keningnya dan bertanya: “Apa itu kun-yah?” Secara umum masyarakat belum mengenal istilah kun-yah, termasuk masyarakat islam sendiri umumnya masih merasa asing dengan istilah tersebut, padahal berdasarkan hadist-hadist yang telah diriwayatkan oleh para salaf telah menerangkan dan mengindikasikan, sunnahnya kun-yah bagi setiap muslim.

Dilihat dari segi bahasa arti kun-yah sendiri berarti “panggilan”, “sapaan”, ataupun sebutan penghormatan pada seseorang. Biasanya “kun-yah” dinisbahkan kepada nama anak ataupun kepada nama bapaknya.

Misalnya bila si fulan memiliki anak bernama Umar maka ia bisa memakai kun-yah yakni “Abu Umar (bapaknya umar)”. Atau bila si fulan mempunyai orang tua bernama Hanif, maka ia bisa memakai kun-yah yakni “Ibnu Hanif (anaknya hanif)” dan sebagainya. Indikasi bahwa kun-yah ini disunnahkan oleh rasulullah salallahu’alaihi wassalam bisa ditemukan pada beberapa hadist antara lain:

Sabda rasulullah salallahu’alaihi wassalam ketika memberi kun-yah kepada Ummul Mu`miniin `Aaisyah radhiallahu `anha yaitu “Ummu `Abdillah”.

‘Aisyah berkata kepada Nabi Shallallahu’alaihiwasallam;

“Wahai Rasulullah! Semua istrimu memiliki julukan kecuali aku.”

Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda kepadanya:

اكْتَنِي أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللَّهِ

“Aku juluki kamu Ummu Abdillah.”

Perawi berkata: “Selanjutnya Aisyah dipanggil Umu Abdullah sampai beliau meninggal sedangkan ia belum pernah melahirkan seorang anakpun.”
[Shahiih, HR. Ahmad; Dishahiihkan oleh asy-Syaikh al-Albaaniy dalam “Silsilatul Ahaadist As Shohiihah”].

Kemudian pada hadist berikut yang berbunyi:

dari Anas, dia berkata;

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sosok yang paling mulia akhlaknya, aku memiliki saudara yang bernama Abu ‘Umair -Perawi mengatakan; aku mengira Anas juga berkata; ‘Kala itu ia habis disapih.”- Dan apabila beliau datang, maka beliau akan bertanya:

يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ

‘Hai Abu ‘Umeyr, bagaimana kabar si nughair (burung pipitnya)?’

Abu Umair memang senang bermain dengannya, dan ketika waktu shalat telah tiba, sedangkan beliau masih berada di rumah kami, maka beliau meminta dihamparkan tikar dengan menyapu bawahnya dan memercikinya, lalu kami berdiri di belakang beliau, dan beliau pun shalat mengimami kami.”
(Hadist dikeluarkan oleh : Al Imam Al Bukhariy (7/133 no. 6129, dan hal. 155 no. 6203)
“Baab Al Kunyah Lisshobiy wa Qabla An Yuulad Lirrajuli”

(Bab kunyah bagi anak yang masih kecil dan sebelum dilahirkan bagi seorang lelaki tersebut), Muslim (3/1692 no. 2150), Abu Daawuud (5/251-252 no. 4969), At Tirmidziy (2/154 no. 333 dan 4/314 no. 1989), berkata Abu `Iisaa : “Hadist Anas hadist hasan shohih,” Ibnu Maajah (2/1226 no. 3720).